Menuju Arung Hijau dapat ditempuh dengan kendaraan motor berjarak 30 menit dari Tarempa, Anambas. Perjalanan akan dihiasi hutan kebun penduduk yang tak terurus, karena penduduk tak sempat lagi untuk mengurus kebun-kebun mereka.
Pohon-pohon tua yang lapuk dengan tinggi puluhan meter dan berumur mungkin sudah ratusan tahun tak ada lagi yang mau memupuknya. Bahkan sebagian besar pohon merupakan pohon semak yang pemiliknya tak tau lagi apa kegunaan dari pohon tersebut.
Hutan-hutan nampak serabutan tak karuan. Ya, hutan ini paling cocok buat survival ala Rambo yang dibuang di tengah hutan dengan bekal hanya sebilah belati untuk menggasak hewan-hewan liar yang membuat usus kita kangker seusai pelatihan.
Di sekitar hutan nampak pohon durian nenek moyang turun-temurun tumbuh besar, tinggi, dengan diameter pohon sampai lebih dari 2 meter. Berumur begitu tua sampai penduduk tak tau siapa yang menanamnya.
Durian warisan ini selalu berbuah lebat pada saat musimnya. Jika musim tiba, sebagian penduduk tak mau lagi memakannya karena perut mereka sudah mual untuk menghabiskan durian yang tiap hari jatuh begitu saja tak ada yang mau mengambilnya.
Sebagian penduduk yang lihai melihat kesempatan, mereka mengumpulkan durian untuk dijadikan Lempok Durian, semacam selai dengan campuran gula dan daging durian sebagai bahan olahan yang dapat bertahan hingga berbulan-bulan. Bagi pecinta durian, musim durian adalah surganya Anambas.
Dengan berbagai jenis durian lokal dengan aroma dan rasa yang beraneka ragam. Dari durian kuning berlemak, durian besar putih, berdaging tebal, sampai berbagai macam durian lain yang tak diketahui spesiesnya. Jika musim tiba, seikat durian (3 buah) hanya dihargai Rp 10.000.
Bahkan penduduk tak sungkan mengajak para tamu makan durian sepuasnya karena sudah tak ada yang mau mengambilnya. Di ujung jalan, kita sampai di sebuah pantai berbatu, dengan panorama yang alami dan masih asri.
Walau telah dihuni oleh beberapa penduduk, daerah ini nampak belum mengalami perubahan sama sekali dari bentangan alam kreasi Tuhan. Air begitu jernih dengan langit membiru, dihiasi dengan ikan-ikan yang tampak dari permukaan, jumlahnya ribuan.
Saya berdiam diri di bawah jalan beton memanjang sebagai pelabuhan pompong (perahu tradisional) bagi nelayan setempat. Saya melihat ikan yang berdiam berganti-ganti tiap musimnya. Ada ikan manyuk, ikan olong-olong, ikan layur, ikan teri, cumi-cumi. Begitu orang setempat menamakannya dan berbagai jenis ikan lain.
Ikan manyuk adalah ikan favorit bagi penduduk setempat, dengan rasa yang lezat hanya dibakar saja dengan sambal cabai dan garam. Rasanya sudah melebihi makanan termewah yang pernah kami temukan. Apalagi dimasak dengan berbagai jenis bumbu tradisional melayu yang lekat dengan santan yang kental. Sekali gigit rasanya sampai naik ke ubun-ubun.
Ikan olong-olong serupa ikan cucut atau mirip belut laut, atau mirip baracuda juga bisa Anda buru di sana. Dengan bentuk mulut yang lancip dan bergigi tajam. Memancing ikan ini, menggunakan umpan ikan kecil yang hidup disangkutkan di kail.
Sekali lempar, ikan ini akan langsung menyambarnya. Jika tidak maka kita harus menggantinya dengan umpan lain yang masih segar. Ikan teri atau cumi biasa ditangkap dengan bagan, sebuah rumah terapung tradisional yang digerakkan dengan motor diesel dilengkapi dengan lampu sorot bertenaga tinggi.
Tak perlu memancingnya, ikan-ikan ini akan berdatangan dengan sendirinya ke dalam jaring bagan karena navigasi mereka membuyar oleh sorotan lampu bagan. Arung hijau cocok bagi para pemancing pemula yang ingin mencoba kekayaan Anambas dari pinggir pantainya.
Tak heran tempat ini selalu dipadati para pemancing pada hari-hari libur baik para pendatang maupun penduduk setempat. Happy weekend!
Sumber : travel.detik.com
0 komentar:
Posting Komentar