Minggu, 01 Desember 2013

Candi-candi Bersejarah di Jawa Timur

Jawa Timur masih menyembunyikan banyak keajaiban dari wajahnya yang tampak saat ini. Candi-candi tua pun tersebar dari ujung barat sampai timurnya, dari dataran rendah Situbondo sampai wilayah sejuk di Pandaan-Tretes.

Banyak cara yang digunakan traveler untuk melewatkan liburan akhir tahun. Ada yang berlibur menggunakan moda transportasi mobil, pesawat, atau kereta api. Yang tak kalah populer adalah motor. Dengan berkendara motor, traveler bisa dengan mudah berinteraksi dengan alam dan penduduk sekitar. Lebih fleksibel dan lebih hemat konsumsi bahan bakar, walaupun daya angkutnya memang terbatas.

Ada banyak hal yang tersembunyi di Jawa Timur, mulai dari wisata alam, gunung, lembah, sejarah, dan kulinernya. Saya pun berkendara menuju berbagai peninggalan sejarah di Trowulan, menatap keangkuhan candi-candi tua yang anggun nan indah.

Mulai dari Candi Brahu, Candi Tikus, Kolam Segaran yang merupakan kolam kuno terbesar, candi narsis di Pandaan, Candi Jawi, sampai Candi Jabung yang tersembunyi di ramainya jalur Surabaya-Denpasar. Semuanya dibangun pada masa Kerajaan Majapahit, mulai dari dataran rendah Situbondo sampai dataran tinggi Pandaan-Tretes.

Trowulan berada di sebuah dataran yang merupakan ujung dari kaki 3 gunung, yakni Gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro. Lokasi tepatnya di delta Sungai Berantas, sekitar 10 Km barat daya Kota Mojokerto atau 60 Km barat daya Surabaya.

Situs bersejarah Trowulan hanya menampilkan sedikit wajahnya. Masih banyak situs yang belum tersingkap dari bekas pusat kota Kerajaan Majapahit itu, yang konon luasnya mencapai 70 Km2. Cukup luas pada zamannya. Banyak bangunan candi yang masih tertimbun di dalam tanah, atau hanya tampak sebagian kecil saja karena belum digali secara utuh.

Peru boleh saja punya Macchu Picchu. Kamboja punya Angkor Wat. Italia punya Pompeii dan Yunani punya Acropolis. Nah, seperti itulah Trowulan bagi Indonesia. Sayangnya situs ini belum tergali sempurna.

Menikmati situs kota purbakala ini mungkin butuh waktu lebih dari sehari. Ada banyak situs yang bisa dikunjungi yakni Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, Gapura Wringin Lawang, Kolam Segaran, Pendopo Mojopahit yaitu Petilasan Gajahmada, Museum Trowulan, Makam Putri Cempa yang menjadi permaisuri Raja Majapahit terakhir Brawijaya.

Ada juga Makam Troloyo yaitu makam Syeikh Jumadil Qubro, kakeknya para Wali Songo. Ini juga membuktikan adanya komunitas Muslim di dalam kota kerajaan Majapahit. Ada juga makam Panjang yang menunjukkan adanya penghuni Trowulan sebelum era Majapahit. Di sini kita bisa membangkitkan imajinasi tentang kehidupan sebuah negara yang mendominasi Asia Tenggara di rentang abad 13-15 Masehi.

Jangan lupa mampir ke Kolam Segaran Majapahit, kolam kuno terbesar dengan panjang 375 m, lebar 125 m, dan tinggi dinding 3,16 m. Kolam yang sampai saat ini masih dialiri air tersebut tak ubahnya telaga di tengah kota. Kolam (balong) kuno  ini ditemukan pertama kali oleh Maclain Pont tahun 1926. Semasa Kerajaan Majapahit kolam ini juga difungsikan sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri.

Fungsi utamanya sebagai waduk dan penambah kesejukan udara kota. Dugaan sebagai waduk ini diperkuat dengan ditemukannya saluran pembuangan air yang berhubungan dengan Kolam Bulat (Balong Bunder) di Selatan serta Kolam Panjang (Balong Dowo) tepat di depan Museum Trowulan.

Sayangnya kedua balong itu sudah tak berfungsi karena pendangkalan. Menurut cerita rakyat pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, apabila perjamuan tamu telah usai, maka peralatan perjamuan seperti piring, sendok, ataupun mangkok yang terbuat dari emas dibuang di kolam untuk menunjukkan betapa kayanya Kerajaan Majapahit. Namun, di dasar kolam telah lebih dahulu dipasang jaring, sehingga saat tamu sudah pergi, peralatan-peralatan tersebut diambil kembali untuk digunakan.

Eits, itu baru peninggalan sejarah di satu tempat saja. Sekitar 200 Km dari Trowulan ada sebuah candi yang tersembunyi, padahal hanya 500 meter dari jalan raya! Namanya Candi Jabung di Situbondo, yang tak diketahui banyak orang dan tidak terlalu terkenal seperti Borobudur ataupun Trowulan.

Menuju Situbondo dari Trowulan bisa ditempuh melalui 'jalan belakang' sekaligus menyusuri kawasan wisata di punggung gunung Welirang. Ada empat kawasan wisata terkenal ada di sini, yaitu Pacet, Trawas, Tretes dan Prigen. Turun dari Tretes jangan lupa menegur candi Jawi yang berada persis di pinggir jalan raya Tretes-Pandaan.

Tak perlu keluar banyak uang untuk menikmati keindahan candi Jawi ini. Hanya biaya parkir dan tiket masuk yang sangat terjangkau, tak sebanding dengan kepuasan batin memanjakan mata. Kesan pertama kali yang terlihat adalah bahwa candi ini nampak berbeda dari candi lain di Jawa Timur yang dibangun dengan menggunakan batu bata.

Candi Jawi dibangun menggunakan batu andesit dengan dua warna, bagian bawah berwarna hitam dan bagian atas berwarna putih. Hal itu mengundang pertanyaan karena karena kawasan yang termasuk kaki Gunung Welirang kebanyakan berbatu hitam, dan batu putih hanya sering dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982. Kini biaya pemeliharaan didapatkan dari sumbangan sukarela dari pengunjung maupun LSM lainnya.

Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping. Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat sisa bangunan gapura dan pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit yang banyak terdapat di Trowulan.

Candi Jawi dibangun sekitar abad ke-13 pada masa pemerintahan Raja Kertanegara dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari. Alasan Kertanegara membangun Candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, nyatanya ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Beberapa kitab kuno menyebutkan pemberontakan di masa pemerintahannya.

Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Yang unik dari Candi Jawi adalah posisi pintu yang tidak seperti candi lain. Kebanyakan candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari ajaran Buddha. Selesai menikmati keindahan Candi Jawi kita menuju ke kota Situbondo, tempat bermukimnya candi yang tidak banyak dikenal.

Tiba di kecamatan Jabung pada pagi hari, saya menemukan sebuah bangunan unik. Bermandi cahaya matahari pagi yang kebetulan sedang ramah di musim penghujan, Candi Jabung berdiri kokoh di hamparan rumput yang nampak seperti karpet hijau berkilau karena embun.

Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Berdasarkan inskripsi pada pintu masuk, candi ini didirikan pada tahun 1276 c (saka) = 1354 Masehi masa kebesaran Kerajaan Majapahit. Candi Hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Letaknya tersembunyi dari keramaian jalan raya Surabaya-Denpasar yang berjarak hanya sekitar 500 meter!

Dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung disebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.

Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun, sungguh mengagumkan. Usai menikmati salah satu kekayaan Situbondo, rasanya tanggung berkelana bila tidak mampir ke sebuah taman nasional di kabupaten ini. Jaraknya sekitar 120 km dari lokasi candi Jabung ini, arahkan saja kendaraan ke Ketapang, Banyuwangi.

Jalan raya menuju Ketapang Banyuwangi relatif bagus, jalan lebar empat lajur dengan aspal hotmix yang mulus membuat berkendara menikmati pemandangan indah pantai Situbondo terasa nyaman. Jalan lebar mulus penghubung Surabaya-Denpasar itu menembus hutan jati yang menyembunyikan keindahan Taman Nasional Baluran dari pandangan saya.

Memangnya ada apa di Taman Nasional Baluran itu? Banyak! Kalau disebutkan keindahan alam sudah pasti. Mulai dari gunung, padang savanah, hutan bakau, pemandangan pantai hingga area yang selalu hijau sepanjang tahun dan dijuluki “Curah Uling” dalam bahasa setempat atau “Evergreen” oleh para peneliti. Tak heran bila taman nasional ini dijuluki “Africa van Java” oleh banyak orang karena memang nuansa Afrika terasa sangat kental terutama di padang savanahnya.

Satwanya? Dari banteng, kerbau liar, rusa, kera ekor panjang, ajag (sejenis anjing hutan), macan tutul, kucing hutan, kancil sampai ratusan jenis burung bermukim di sini. Masih kurang? Tak cukup satu hari untuk menjelajahi kawasan ini, belum lagi menyebut berbagai jenis flora.

Ada satu pekerjaan rumah bagi pemerintah dan pengelola taman nasional ini: penurunan populasi banteng di Baluran yang disebabkan oleh semakin sempitnya daya dukung habitat berupa savana. Akibat serbuan akasia, luas savana yang semula 10.000 hektar kini tersisa 5.000 hektar saja. Invasi akasia berduri ini menghambat pertumbuhan rumput yang menjadi makanan utama banteng.

Baluran dipilih menjadi kawasan konservasi banteng karena banteng di kawasan ini terkenal memiliki genetik yang baik. Banteng jantan Baluran memiliki fisik besar, jarang ditemui di kawasan lain.

Ada dua check point utama yang wajib dikunjungi yakni pos Bekol, di mana terdapat padang savanah tempat berkumpulnya banteng dan rusa ketika senja untuk minum. Di sana juga terdapat menara pemantau untuk melihat berbagai jenis burung di pepohonan dan adapula landmark khas Baluran; pajangan kerangka kepala banteng dan kerbau. Pos kedua adalah Pos Pantai Bama, sebuah pantai tersembunyi dengan hamparan pasir putih dan air yang tenang.

Liburan akhir tahun yang hanya beberapa hari terasa kurang karena Jawa Timur masih menyimpan sejuta pesonanya yang lain. Sebut saja beberapa tempat yang wajib dikunjungi para bikers: Taman Nasional Bromo Semeru Tengger, Jembatan Suromadu, titik paling timur dan paling selatan pulau Jawa, di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, berbagai candi lain yang tersebar di wilayah selatan Jawa Timur.

Ya, ttu baru satu provinsi. Bayangkan betapa kayanya Indonesia dengan keragaman budaya, kekayaan alam dan peninggalan sejarahnya yang tersebar di seluruh provinsi.

Sumber : travel.detik.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template by Free WordPress Themes | Design by Ar Cka Winangun | Premium Blogger Themes