Minggu, 01 Desember 2013

Pantai Kayu Arum Gunungkidul

Gunungkidul tidak habis-habisnya memunculkan pantai baru yang jarang disentuh wisatawan. Pantai Kayu Arum misalnya, saking perawannya, jalan untuk menemukan panorama elok pantai ini susah dan menantang.

Pantai Kayu Arum, masih termasuk pantai yang sepi, eksotis dan cantik dengan panorama alam yang indah yang masih belum terjamah. Puluhan pantai yang ada di Gunungkidul, semakin lama semakin bermunculan satu per satu seakan mereka ingin memperlihatkan pesona.

Pantai Kayu Arum berada di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul. Belum jelasnya keberadaan pantai ini membuat saya semakin semangat untuk segera mecari keberadaan pantai satu ini. Tapi yang membuat saya berpikir dua kali sebelum berangkat yaitu baru saja naiknya harga BBM, maklum namanya juga mahasiswa.

Sekitar pukul 10.00 WIB saya mulai meluncur ke arah Jl Wonosari melalui Ring Road Selatan. Hujan pun saya libas hingga di daerah Jl Wonosari. Saya tiba di Wonosari sekitar pukul 11.25 WIB. Dari Bundaran Wonosari, saya berbelok ke selatan menuju arah Pantai Baron hingga bertemu pertigaan yang mempunyai tanda lurus ke arah TPR Pantai Baron, ke kanan arah Pantai Ngobaran dan lainnya.

Sekitar 3 km sebelum Pantai Baron, dari pertigaan itu kita ke kanan ke arah Pantai Parangracuk. Di sana ada sebuah kantor yang dinamakan Baron Technopark Project yang digunakan sebagai PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang) dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Di depan pintu masuk kantor tersebut, saya sudah melihat rumah yang bertuliskan penitipan kendaraan. Saya pun memarkirkan kendaraan saya di situ. Lalu bertanya dengan tukang penjaga penitipan motor tersebut tentang keberadaan Pantai Kayu Arum.

Ternyata dari tempat penitipan kendaraan dan menuju pantai itu, kita harus kembali berjalan ke arah sebelum kita sampai di penitipan motor. Kira-kira sekitar 100 meter dengan patokan setelah melewati sebuah selokan kecil.

Kita berjalan ke arah barat sekitar 3 km melewati ladang pertanian warga seperti informasi bapak penjaga berikan dan jarak tempuh PP sekitar 3 jam berjalan kaki. Mulai dari patokan selokan kecil yang bapak penjaga tadi berikan, kita berjalan ke arah barat lurus terus melewati ladang singkong milik warga sekitar, menembus semak belukar dan teduhnya pepohonan jati.

Sekitar 5 bukit yang berjajar saya lewati dan akhirnya patokan kedua yang diberikan bapak tadi saya temukan, yaitu melewati pohon kelapa dengan jalan yang mentok menabrak bukit. Lalu saya belok ke kiri atau mengarah ke selatan dimana mulai terdengar suara ombak yang menabrak karang dan hembusan angin yang semakin kencang. Sedikit demi sedikit, birunya air laut terlihat dari kejauhan di ujung sana.

Sekitar berjalan 500 m kearah selatan, akhirnya saya pun tiba di depan pantai dengan suara ombak yang menabrak karang dan kencangnya angin. Ternyata akses masuk ke Pantai Kayu Arum berbentuk jalan setapak berlorong dari semak belukar dan pepohonan khas pinggir pantai.

Setelah melewati jalan masuk pantai tersebut, mata kita akan dimanjakan dengan pesona alam yang masih asri dan pasir pantai yang putih bersih dengan angin yang kencang dan deburan ombak yang ganas menabrak tebing karang.

Pasir pantai yang bisa terbilang cukup luas membuat Pantai Kayu Arum ini bisa digunakan untuk bermain bola dan kemping. Jika air laut sedang surut kita bisa melihat ikan-ikan hias air laut di bibir pantai. Tapi jika untuk berenang, saya sarankan jangan! Karena ombak di sana bisa terbilang ganas dengan banyaknya karang-karang tajam.

Saran untuk Anda yang ingin mengunjungi pantai ini, sebaiknya membawa makanan dan minuman sendiri karena di sana sama sekali belum ada warga sekitar yang berjualan. Sarana air bersih seperti toilet pun belum ada.

Pakailah sepatu atau alas kaki yang tertutup. Karena jika musim hujan, perjalanan untuk menuju pantai ini bisa berubah menjadi lumpur bercampur bebatuan yang licin. Selamat menikmati!

Sumber : travel.detik.com

Hutan Anambas di Kepulauan Riau

Kalau Anda akhir pekan ini berlibur ke Kepulauan Riau, berpetualanglah di Hutan Anambas. Anda bisa menyusuri Arung Hijau yaitu desa yang memiliki hutan dengan pepohonaan yang menjulang tinggi dan tiba di pantai eksotis. Seru!

Menuju Arung Hijau dapat ditempuh dengan kendaraan motor berjarak 30 menit dari Tarempa, Anambas. Perjalanan akan dihiasi hutan kebun penduduk yang tak terurus, karena penduduk tak sempat lagi untuk mengurus kebun-kebun mereka.

Pohon-pohon tua yang lapuk dengan tinggi puluhan meter dan berumur mungkin sudah ratusan tahun tak ada lagi yang mau memupuknya. Bahkan sebagian besar pohon merupakan pohon semak yang pemiliknya tak tau lagi apa kegunaan dari pohon tersebut.

Hutan-hutan nampak serabutan tak karuan. Ya, hutan ini paling cocok buat survival ala Rambo yang dibuang di tengah hutan dengan bekal hanya sebilah belati untuk menggasak hewan-hewan liar yang membuat usus kita kangker seusai pelatihan.

Di sekitar hutan nampak pohon durian nenek moyang turun-temurun tumbuh besar, tinggi, dengan diameter pohon sampai lebih dari 2 meter. Berumur begitu tua sampai penduduk tak tau siapa yang menanamnya.

Durian warisan ini selalu berbuah lebat pada saat musimnya. Jika musim tiba, sebagian penduduk tak mau lagi memakannya karena perut mereka sudah mual untuk menghabiskan durian yang tiap hari jatuh begitu saja tak ada yang mau mengambilnya.

Sebagian penduduk yang lihai melihat kesempatan, mereka mengumpulkan durian untuk dijadikan Lempok Durian, semacam selai dengan campuran gula dan daging durian sebagai bahan olahan yang dapat bertahan hingga berbulan-bulan. Bagi pecinta durian, musim durian adalah surganya Anambas.

Dengan berbagai jenis durian lokal dengan aroma dan rasa yang beraneka ragam. Dari durian kuning berlemak, durian besar putih, berdaging tebal, sampai berbagai macam durian lain yang tak diketahui spesiesnya. Jika musim tiba, seikat durian (3 buah) hanya dihargai Rp 10.000.

Bahkan penduduk tak sungkan mengajak para tamu makan durian sepuasnya karena sudah tak ada yang mau mengambilnya. Di ujung jalan, kita sampai di sebuah pantai berbatu, dengan panorama yang alami dan masih asri.

Walau telah dihuni oleh beberapa penduduk, daerah ini nampak belum mengalami perubahan sama sekali dari bentangan alam kreasi Tuhan. Air begitu jernih dengan langit membiru, dihiasi dengan ikan-ikan yang tampak dari permukaan, jumlahnya ribuan.

Saya berdiam diri di bawah jalan beton memanjang sebagai pelabuhan pompong (perahu tradisional) bagi nelayan setempat. Saya melihat ikan yang berdiam berganti-ganti tiap musimnya. Ada ikan manyuk, ikan olong-olong, ikan layur, ikan teri, cumi-cumi. Begitu orang setempat menamakannya dan berbagai jenis ikan lain.

Ikan manyuk adalah ikan favorit bagi penduduk setempat, dengan rasa yang lezat hanya dibakar saja dengan sambal cabai dan garam. Rasanya sudah melebihi makanan termewah yang pernah kami temukan. Apalagi dimasak dengan berbagai jenis bumbu tradisional melayu yang lekat dengan santan yang kental. Sekali gigit rasanya sampai naik ke ubun-ubun.

Ikan olong-olong serupa ikan cucut atau mirip belut laut, atau mirip baracuda juga bisa Anda buru di sana. Dengan bentuk mulut yang lancip dan bergigi tajam. Memancing ikan ini, menggunakan umpan ikan kecil yang hidup disangkutkan di kail.

Sekali lempar, ikan ini akan langsung menyambarnya. Jika tidak maka kita harus menggantinya dengan umpan lain yang masih segar. Ikan teri atau cumi biasa ditangkap dengan bagan, sebuah rumah terapung tradisional yang digerakkan dengan motor diesel dilengkapi dengan lampu sorot bertenaga tinggi.

Tak perlu memancingnya, ikan-ikan ini akan berdatangan dengan sendirinya ke dalam jaring bagan karena navigasi mereka membuyar oleh sorotan lampu bagan. Arung hijau cocok bagi para pemancing pemula yang ingin mencoba kekayaan Anambas dari pinggir pantainya.

Tak heran tempat ini selalu dipadati para pemancing pada hari-hari libur baik para pendatang maupun penduduk setempat. Happy weekend!

Sumber : travel.detik.com

Candi-candi Bersejarah di Jawa Timur

Jawa Timur masih menyembunyikan banyak keajaiban dari wajahnya yang tampak saat ini. Candi-candi tua pun tersebar dari ujung barat sampai timurnya, dari dataran rendah Situbondo sampai wilayah sejuk di Pandaan-Tretes.

Banyak cara yang digunakan traveler untuk melewatkan liburan akhir tahun. Ada yang berlibur menggunakan moda transportasi mobil, pesawat, atau kereta api. Yang tak kalah populer adalah motor. Dengan berkendara motor, traveler bisa dengan mudah berinteraksi dengan alam dan penduduk sekitar. Lebih fleksibel dan lebih hemat konsumsi bahan bakar, walaupun daya angkutnya memang terbatas.

Ada banyak hal yang tersembunyi di Jawa Timur, mulai dari wisata alam, gunung, lembah, sejarah, dan kulinernya. Saya pun berkendara menuju berbagai peninggalan sejarah di Trowulan, menatap keangkuhan candi-candi tua yang anggun nan indah.

Mulai dari Candi Brahu, Candi Tikus, Kolam Segaran yang merupakan kolam kuno terbesar, candi narsis di Pandaan, Candi Jawi, sampai Candi Jabung yang tersembunyi di ramainya jalur Surabaya-Denpasar. Semuanya dibangun pada masa Kerajaan Majapahit, mulai dari dataran rendah Situbondo sampai dataran tinggi Pandaan-Tretes.

Trowulan berada di sebuah dataran yang merupakan ujung dari kaki 3 gunung, yakni Gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro. Lokasi tepatnya di delta Sungai Berantas, sekitar 10 Km barat daya Kota Mojokerto atau 60 Km barat daya Surabaya.

Situs bersejarah Trowulan hanya menampilkan sedikit wajahnya. Masih banyak situs yang belum tersingkap dari bekas pusat kota Kerajaan Majapahit itu, yang konon luasnya mencapai 70 Km2. Cukup luas pada zamannya. Banyak bangunan candi yang masih tertimbun di dalam tanah, atau hanya tampak sebagian kecil saja karena belum digali secara utuh.

Peru boleh saja punya Macchu Picchu. Kamboja punya Angkor Wat. Italia punya Pompeii dan Yunani punya Acropolis. Nah, seperti itulah Trowulan bagi Indonesia. Sayangnya situs ini belum tergali sempurna.

Menikmati situs kota purbakala ini mungkin butuh waktu lebih dari sehari. Ada banyak situs yang bisa dikunjungi yakni Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, Gapura Wringin Lawang, Kolam Segaran, Pendopo Mojopahit yaitu Petilasan Gajahmada, Museum Trowulan, Makam Putri Cempa yang menjadi permaisuri Raja Majapahit terakhir Brawijaya.

Ada juga Makam Troloyo yaitu makam Syeikh Jumadil Qubro, kakeknya para Wali Songo. Ini juga membuktikan adanya komunitas Muslim di dalam kota kerajaan Majapahit. Ada juga makam Panjang yang menunjukkan adanya penghuni Trowulan sebelum era Majapahit. Di sini kita bisa membangkitkan imajinasi tentang kehidupan sebuah negara yang mendominasi Asia Tenggara di rentang abad 13-15 Masehi.

Jangan lupa mampir ke Kolam Segaran Majapahit, kolam kuno terbesar dengan panjang 375 m, lebar 125 m, dan tinggi dinding 3,16 m. Kolam yang sampai saat ini masih dialiri air tersebut tak ubahnya telaga di tengah kota. Kolam (balong) kuno  ini ditemukan pertama kali oleh Maclain Pont tahun 1926. Semasa Kerajaan Majapahit kolam ini juga difungsikan sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri.

Fungsi utamanya sebagai waduk dan penambah kesejukan udara kota. Dugaan sebagai waduk ini diperkuat dengan ditemukannya saluran pembuangan air yang berhubungan dengan Kolam Bulat (Balong Bunder) di Selatan serta Kolam Panjang (Balong Dowo) tepat di depan Museum Trowulan.

Sayangnya kedua balong itu sudah tak berfungsi karena pendangkalan. Menurut cerita rakyat pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, apabila perjamuan tamu telah usai, maka peralatan perjamuan seperti piring, sendok, ataupun mangkok yang terbuat dari emas dibuang di kolam untuk menunjukkan betapa kayanya Kerajaan Majapahit. Namun, di dasar kolam telah lebih dahulu dipasang jaring, sehingga saat tamu sudah pergi, peralatan-peralatan tersebut diambil kembali untuk digunakan.

Eits, itu baru peninggalan sejarah di satu tempat saja. Sekitar 200 Km dari Trowulan ada sebuah candi yang tersembunyi, padahal hanya 500 meter dari jalan raya! Namanya Candi Jabung di Situbondo, yang tak diketahui banyak orang dan tidak terlalu terkenal seperti Borobudur ataupun Trowulan.

Menuju Situbondo dari Trowulan bisa ditempuh melalui 'jalan belakang' sekaligus menyusuri kawasan wisata di punggung gunung Welirang. Ada empat kawasan wisata terkenal ada di sini, yaitu Pacet, Trawas, Tretes dan Prigen. Turun dari Tretes jangan lupa menegur candi Jawi yang berada persis di pinggir jalan raya Tretes-Pandaan.

Tak perlu keluar banyak uang untuk menikmati keindahan candi Jawi ini. Hanya biaya parkir dan tiket masuk yang sangat terjangkau, tak sebanding dengan kepuasan batin memanjakan mata. Kesan pertama kali yang terlihat adalah bahwa candi ini nampak berbeda dari candi lain di Jawa Timur yang dibangun dengan menggunakan batu bata.

Candi Jawi dibangun menggunakan batu andesit dengan dua warna, bagian bawah berwarna hitam dan bagian atas berwarna putih. Hal itu mengundang pertanyaan karena karena kawasan yang termasuk kaki Gunung Welirang kebanyakan berbatu hitam, dan batu putih hanya sering dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.

Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982. Kini biaya pemeliharaan didapatkan dari sumbangan sukarela dari pengunjung maupun LSM lainnya.

Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping. Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat sisa bangunan gapura dan pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit yang banyak terdapat di Trowulan.

Candi Jawi dibangun sekitar abad ke-13 pada masa pemerintahan Raja Kertanegara dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu-Buddha Kerajaan Singhasari. Alasan Kertanegara membangun Candi Jawi jauh dari pusat kerajaan diduga karena di kawasan ini pengikut ajaran Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, nyatanya ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Beberapa kitab kuno menyebutkan pemberontakan di masa pemerintahannya.

Ada dugaan bahwa kawasan Candi Jawi dijadikan basis oleh pendukung Kertanegara. Dugaan ini timbul dari kisah sejarah bahwa saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), dia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Yang unik dari Candi Jawi adalah posisi pintu yang tidak seperti candi lain. Kebanyakan candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat yang dipercaya sebagai tempat persemayaman kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain ada pula yang beranggapan bahwa candi ini tetaplah candi pemujaan, dan posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari ajaran Buddha. Selesai menikmati keindahan Candi Jawi kita menuju ke kota Situbondo, tempat bermukimnya candi yang tidak banyak dikenal.

Tiba di kecamatan Jabung pada pagi hari, saya menemukan sebuah bangunan unik. Bermandi cahaya matahari pagi yang kebetulan sedang ramah di musim penghujan, Candi Jabung berdiri kokoh di hamparan rumput yang nampak seperti karpet hijau berkilau karena embun.

Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Berdasarkan inskripsi pada pintu masuk, candi ini didirikan pada tahun 1276 c (saka) = 1354 Masehi masa kebesaran Kerajaan Majapahit. Candi Hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Letaknya tersembunyi dari keramaian jalan raya Surabaya-Denpasar yang berjarak hanya sekitar 500 meter!

Dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung disebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.

Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun, sungguh mengagumkan. Usai menikmati salah satu kekayaan Situbondo, rasanya tanggung berkelana bila tidak mampir ke sebuah taman nasional di kabupaten ini. Jaraknya sekitar 120 km dari lokasi candi Jabung ini, arahkan saja kendaraan ke Ketapang, Banyuwangi.

Jalan raya menuju Ketapang Banyuwangi relatif bagus, jalan lebar empat lajur dengan aspal hotmix yang mulus membuat berkendara menikmati pemandangan indah pantai Situbondo terasa nyaman. Jalan lebar mulus penghubung Surabaya-Denpasar itu menembus hutan jati yang menyembunyikan keindahan Taman Nasional Baluran dari pandangan saya.

Memangnya ada apa di Taman Nasional Baluran itu? Banyak! Kalau disebutkan keindahan alam sudah pasti. Mulai dari gunung, padang savanah, hutan bakau, pemandangan pantai hingga area yang selalu hijau sepanjang tahun dan dijuluki “Curah Uling” dalam bahasa setempat atau “Evergreen” oleh para peneliti. Tak heran bila taman nasional ini dijuluki “Africa van Java” oleh banyak orang karena memang nuansa Afrika terasa sangat kental terutama di padang savanahnya.

Satwanya? Dari banteng, kerbau liar, rusa, kera ekor panjang, ajag (sejenis anjing hutan), macan tutul, kucing hutan, kancil sampai ratusan jenis burung bermukim di sini. Masih kurang? Tak cukup satu hari untuk menjelajahi kawasan ini, belum lagi menyebut berbagai jenis flora.

Ada satu pekerjaan rumah bagi pemerintah dan pengelola taman nasional ini: penurunan populasi banteng di Baluran yang disebabkan oleh semakin sempitnya daya dukung habitat berupa savana. Akibat serbuan akasia, luas savana yang semula 10.000 hektar kini tersisa 5.000 hektar saja. Invasi akasia berduri ini menghambat pertumbuhan rumput yang menjadi makanan utama banteng.

Baluran dipilih menjadi kawasan konservasi banteng karena banteng di kawasan ini terkenal memiliki genetik yang baik. Banteng jantan Baluran memiliki fisik besar, jarang ditemui di kawasan lain.

Ada dua check point utama yang wajib dikunjungi yakni pos Bekol, di mana terdapat padang savanah tempat berkumpulnya banteng dan rusa ketika senja untuk minum. Di sana juga terdapat menara pemantau untuk melihat berbagai jenis burung di pepohonan dan adapula landmark khas Baluran; pajangan kerangka kepala banteng dan kerbau. Pos kedua adalah Pos Pantai Bama, sebuah pantai tersembunyi dengan hamparan pasir putih dan air yang tenang.

Liburan akhir tahun yang hanya beberapa hari terasa kurang karena Jawa Timur masih menyimpan sejuta pesonanya yang lain. Sebut saja beberapa tempat yang wajib dikunjungi para bikers: Taman Nasional Bromo Semeru Tengger, Jembatan Suromadu, titik paling timur dan paling selatan pulau Jawa, di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, berbagai candi lain yang tersebar di wilayah selatan Jawa Timur.

Ya, ttu baru satu provinsi. Bayangkan betapa kayanya Indonesia dengan keragaman budaya, kekayaan alam dan peninggalan sejarahnya yang tersebar di seluruh provinsi.

Sumber : travel.detik.com

Jam Big Ben London di Surabaya

Traveler pasti tahu menara jam raksasa atau Big Ben di Kota London, Inggris. Ternyata, menara tersebut ada juga di Surabaya, Jawa Timur. Belum bisa lihat yang aslinya, 'Menara Big Ben' ala Surabaya tak kalah megahnya.

Adalah sebuah taman di Wisata Bukit Mas, Surabaya, Jawa Timur yang memiliki 'Menara Big Ben' tersebut. Kawasan pemukiman di sebelah barat Surabaya ini memiliki sebuah taman yang bisa dijadikan lokasi berwisata. Di taman tersebutlah 'Menara Big Ben' berada.

Menara tersebut memang jauh lebih kecil dibandingkan yang aslinya. Tapi desainnya bisa dikatakan sangat mirip dengan Menara Big Ben di London. Selain itu, ada juga patung-patung karakter seperti Hercules dan Achiles di dekatnya. Pohon-pohon rindang yang membuat teduh makin membuat pengunjung taman lebih betah berlama-lama.

Bicara soal tanaman, Surabaya juga punya kebun yang dikhususkan bagi Anda para penyuka tumbuhan. Namanya Kebun Bibit Surabaya, terletak di Jalan Ngagel Jaya Selatan. Kebun yang berada di tengah kota ini berisi ratusan tanaman langka, seperti beberapa jenis anggrek dan beringin tua. Kemudian, ada juga koleksi binatang seperti burung dan rusa tutul yang menambah daya tarik wisata.

Sumber : travel.detik.com

Pintu Air Anti Banjir di Surabaya

Kalau Jakarta punya Pintu Air Manggarai, Kota Surabaya punya Pintu Air Jagir. Ini adalah dam sekaligus benda cagar budaya warisan Belanda sejak 1923 silam. Bendungan ini jadi objek wisata menarik di Kota Pahlawan.

Sesuai namanya, Dam Jagir berlokasi di Jl Jagir Wonokromo, Kota Surabaya. Dahulu kala, bendungan ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal perang bagi pasukan Tar-Tar, pada masa kedatangan Kaisar Kubilai Khan. Tepatnya, sebelum pasukan Kaisar tersebut menyerang Kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Jayakatwang.

Pada masa kolonial Belanda, dam ini mulai difungsikan sebagai pengendali arus air di Surabaya. Sampai sekarang Dam Jagir masih terawat dengan baik, bahkan menjadi destinasi wisata bagi pelancong di Kota Pahlawan tersebut.

Sumber : travel.detik.com

Batu Sphinx dan Seruling Samudera di Pantai Klayar


Liburan akhir pekan yang seru, bisa juga dilakukan di Pantai Klayar di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Ada batu karang menyerupai patung Sphinx dan ada juga seruling samudera, karang yang memuncratkan air.

Pacitan, sebelum SBY menjadi Presiden, lebih dikenal dengan wisata 1.000 Gua. Namun akhir-akhir ini, banyak orang membicarakan surga tersembunyi di sana. Pantai Klayar, ya itulah nama pantai yang banyak disebut orang sebagai salah satu surga tersembunyi.

Pantai ini terletak di sekitar 40 Km dari Kota Pacitan. Pantai Klayar menjadi tujuan wisata yang searah dengan Gua Gong yang jauh lebih dulu terkenal. Untuk mencapai lokasi ini harus melewati jalanan yang sungguh menuntut konsentrasi karena medan yang berat.

Karena saya dari Yogyakarta, akan saya ceritakan rute jalan tersingkat menuju Pantai Klayar. Perjalanan saya menggunakan sepeda motor ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam, dimulai dari Kota Yogyakarta, saya menuju ke arah Wonosari.

Sesampainya di Wonosari, carilah arah jalan menuju Pracimantoro. Jalan dari Wonosari-Racimantoro relatif mulus dan tidak ada hambatan berarti.

Berikutnya, setelah sampai di Pracimantoro, arahkan kendaraan menuju Giribelah. Nah! Mulai dari sini rutenya lumayan terjal, sempit, dan diapit di antara hutan. Tapi jangan takut, memang begini adanya.

Selanjutnya sampailah kita di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Jalanan mulai mulus kembali sambil mata mencari arah Gua Gong. Sebagai catatan, jika menemukan tulisan 'Kalak' dan 'Pantai Klayar', saran saya jangan diikuti. Jalannya sangat sepi, yang menurut keterangan dari teman-teman rawan pemalakan.

Jadi jalanlah terus sampai menemukan penunjuk jalan ke arah Gua Gong. Ikuti saja jalan itu, dengan medan yang sangat-sangat berat, di antaranya jalan yang bergelombang, berlubang, sempit, curam, hingga off road. Semua jerih payah akan terbayar begitu kita sampai di pantai ini.

Untuk masuk ke Pantai Klayar, ditarik retribusi Rp 7.000 per motor dengan rincian Rp 3.000 per orang ditambah Rp 1.000 untuk parkir. Pantai ini sebenarnya sama dengan pantai-pantai lain di sekitar Gunungkidul, yaitu berpasir putih dan laut yang jernih.

Namun, ada keistimewaan tersendiri, yaitu karang yang membentuk tebing besar yang menyerupai Sphinx di Mesir, dan Seruling Samudera. Seruling Samudera adalah air laut yang menyembur di antara batuan karang, yang diakibatkan oleh gelombang ombak yang terjebak di antara karang-karang tersebut.

Untuk masuk ke area Seruling Samudera pun kita harus didampingi pemandu. Pemandu ini yaitu warga sekitar, dan dibayar sukarela.

Sumber : travel.detik.com

 
Template by Free WordPress Themes | Design by Ar Cka Winangun | Premium Blogger Themes